Minggu, 19 Juli 2020

Nasib sekolah anak-anak kita

Suhari Abu Fatih
Pengasuh Ma'had Alfatih klt

Pandemi virus corona telah menyebabkan 9,7 juta anak berisiko putus sekolah secara permanen, kata lembaga amal Save the Children. "Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, satu generasi anak-anak di seluruh dunia terganggu pendidikannya." Rilis BBC.

Tak sedikit orang tua yang mengeluhkan anaknya yang nyaris kehilangan mood untuk belajar akibat terlalu lama libur. Ada semacam lost spirit educational, kehilangan semangat belajar. Tiap hari kalau tidak main hape, maka keluyuran dengan teman-teman satu gengnya. 

Sedangkan sebagian yang lain terancam paparan pornografi akibat setiap hari pegang hape dan lemahnya kontrol orang tua. Maklum orang tua sendiri sibuk menata ekonominya yang sedang ambruk akibat pandemi.

Belum lagi sebagian yang lain nyaris tidak mau berhenti main game, baik offline maupun online. Dengan alasan belajar online yang saat ini menjadi program sekolah, orang tua mengambil jalan pintas dengan membelikan hape baru untuk anaknya. Hal ini umumnya dilakukan oleh orang tua yang berduit. Tentu lengkap dengan paket data sekian giga. 

Namun bagi orang tua yang pas-pasan ekonominya, jangankan beli hape dan paket data, untuk makan yang layak saja mikirnya sudah luar biasa sulitnya. Ditambah lagi bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, soal kekuatan sinyal adalah masalah yang serius.

Belum lagi bingungnya pihak sekolah yang menghadapi keterbelahan wali murid antara yang pro dengan sekolah tatap muka dan yang kontra. Dan makin bingung, jika pihak sekolah ditanya, sampai kapan belajar onlinenya? Au ah, gelap! 

Sementara institusi pesantren yang memberanikan diri memulai KBM tatap muka, mulai dipersalahkan dan dijadikan kambing hitam ketika ditemukan kasus 'positif covid'. Ramai sekali media memberitakannya. Namun kalau kita sebut mereka sengaja mengeroyok pesantren tersebut, mereka tidak terima. 

Kondisi anak-anak selama tidak sekolah tidak lebih aman dan tidak lebih sehat daripada jika mereka tetap sekolah. Apa gunanya aman fisik dan badan, jika mental spiritual mereka rusak akibat hape dan kecanduan game online dan pornografi? Benarkah itu definisi dari kesehatan dan keselamatan jiwa yang dimaksud oleh banyak kalangan? 

Polemik seperti ini juga pernah saya hadapi saat hendak memulai kajian dan membuka kembali majlis ilmu yang sempat libur akibat pandemi. Sebagian orang menakut-nakuti dengan ancaman klaster baru dan lain sebagainya, sedangkan ada ancaman yang sebenarnya jauh lebih mengerikan yang tidak disadari banyak orang yaitu kering kerontangnya jiwa umat dan rapuhnya mental spiritual mereka. Padahal efek dari pandemi ini adalah ancaman resesi dan krisis ekonomi yang panjang. 
Apa akibatnya jika resesi dan krisis ekonomi ini dihadapi dengan jiwa yang rapuh? 

Terus bagaimana solusi dari kondisi ini? 
Tentu akan banyak saran dan pendapat terkait ini dan sah-sah saja kita berbeda pendapat soal ini. Berdebat dan berbeda pendapat terkait persoalan ijtihad itu hal lumrah. 

Salah satu solusinya adalah, memperkuat basis keluarga dengan konsekuensi orang tua harus lebih intens dan fokus dalam mendampingi putra putrinya selama belajar di rumah. Namun, hal ini tidak lah mudah karena latar belakang pendidikan dan ekonomi orang tua berbeda-beda. 

Solusi yang lain adalah mengembalikan fungsi dan peranan masjid di lingkungan kita masing-masing. Masjid harus kembali menjadi pusat-pusat pendidikan. Karena selama liburan ini anak-anak tetap bermain dengan teman-temannya bahkan dari luar lingkungannya, kenapa tidak boleh belajar bersama? Namun ini juga ada kendala terkait kesiapan takmir dan pengurus masjid, belum lagi bagi anak-anak yang orang tuanya alergi dengan masjid.

Kalau saya malah lebih sepakat, anak-anak masuk sekolah seperti biasa dengan tetap menjalankan protokol covid yang ada, sekalian mengajarkan mitigasi kepada mereka (learning by doing) agar mereka tanggap bencana dan survive. 

Sikap sebagian kita ini ibarat orang yang punya komputer. Karena takut ancaman virus, maka ia bungkus komputernya, tidak boleh dinyalakan dan dioperasikan. Kalaupun boleh dioperasikan, tidak boleh tersambung dengan internet atau dimasuki flashdisk. Semua itu dilakukan dengan alasan khawatir tertular virus. Bagi saya ini sikap over protektif dan berlebihan. 

Semestinya mesin komputer itu tetap dipakai bekerja dan dimanfaatkan. Adapun proteksinya dengan cara menginstal antivirus dan sering-sering meng-updatenya setiap saat. 

Bukankah dalam tubuh manusia sudah ada antivirus ciptaan Allah swt yang jauh lebih canggih yang kita kenal dengan imunitas. Buktinya jumlah pasien yang sembuh jauh lebih banyak daripada yang wafat. Sedangkan yang wafat pun masih terbagi-bagi lagi dengan berbagai sebab, termasuk penyakit bawaan yang sudah lama diderita. Mestinya imunitas ini yang ditingkatkan, lalu tawakal kepada Allah swt setelah ikhtiar itu dilakukan. 

Jadi solusi dari ancaman ini adalah mengubah pola pikir (mindset) kita dari sikap lari dan bersembunyi kepada sikap berani menghadapi dengan tetap berhati-hati. Wallahu a'lam...

Copas

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management